Bara Konflik Panjang Sunni dan Syiah di Sampang Akhirnya Padam, 'Air Sejuk' Bripka Eko Ikut Berperan

Bara konflik berkepanjangan antara Sunni dan Syiah di Sampang Madura akhirnya padam, berkat sejuknya 'siraman air' yang diguyurkan Bripka Eko Purwanto

Penulis: Hanggara Pratama | Editor: Mujib Anwar
Istimewa/TribunMadura.com
Bripka Eko Purwanto ketika mendampingi kepulangan tahap dua eks warga penganut Syiah dari tempat pengungsiannya di Rusun Puspa Agro, Kabupaten Sidoarjo untuk kembali ke kampung halaman, di Kabupaten Sampang, Madura, 2 Maret 2023. 

Laporan Wartawan TribunMadura.com, Hanggara Pratama

TRIBUNMADURA.COM, SAMPANG – Konflik Sunni dan Syiah di Kabupaten Sampang, Madura akhirnya dapat diredam. Bahkan mayoritas eks penganut Syiah telah berhasil dipulangkan ke kampung halaman setelah 10 tahun lebih mengungsi di Rumah Susun (Rusun) Puspa Agro, Sidoarjo.

Capaian itu berkat kerja sama dari seluruh elemen, termasuk kegigihan salah satu anggota Polres Sampang, Bripka Eko Purwanto yang bertugas sebagai Liaison Officer (LO) atau anggota penghubung dalam mengatasi konflik sosial perkepanjangan Sunni dan Syiah.

Pria kelahiran Gresik, 1987 ini bertugas sebagai LO sejak 2016, berangkat dari inisiatif sendiri pasca menyelesaikan sekolah lanjutan Intelijen di Bandung. Dirinya ingin mengaplikasikan pengalaman dan ilmu yang didapat selama 4 bulan sekolah khusus itu.

Bripka Eko Purwanto akhirnya berani mengajukan diri, meski dia tahu kosekuensi yang akan didapat, bertugas seorang diri dan tidak mendapatkan operasional apapun karena obyek sasarannya, eks penganut Syiah ada di luar kota.

Keputusan itu mendapatakan respon baik dari pihak keluarga, terutama istri tercinta meski waktu luang untuk berkumpul bersama keluarga harus berkurang. Dalam sepekan, sebanyak empat kali Bripka Eko Purwanto pergi ke Rusun Puspa Agro, Sidoarjo untuk menjalankan tugas.

“Saya memilih mondar-mandir dari Sampang ke Sidoarjo karena saat awal bertugas sudah memiliki istri dan satu orang anak. Kecuali lelah, saya lebih memilih beristirahat, terkadang tidur di lincak warga atau masjid yang ada di kawasan Rusun,” ujarnya, Kamis (22/6/2023).

Sejumlah warga eks penganut Syiah saat tiba di Pendopo Trunojoyo Sampang, Madura, Jumat (29/4/2022), sore.
Sejumlah warga eks penganut Syiah saat tiba di Pendopo Trunojoyo Sampang, Madura, Jumat (29/4/2022) sore. (Istimewa/TribunMadura.com)

Dalam menjalani amanah ini, ia anggap tidak hanya menjalankan tugas kedinasan, namun bergerak karena panggilan rasa kemanusiaan, sebab dirinya berangkat dari keluarga yang tidak mampu, hanya anak dari penjual sayur. Sehingga kegelisahan para pengungsi bisa dirasakan.

Saat konflik pecah pada 2011, dirinya telah menjadi anggota Polres Sampang dan mengetahui segala bentuk permasalahan yang terjadi, terutama kondisi para eks penganut Syiah yang luluh lantak.

"Saya ingin meringankan beban mereka dengan menghadirkan pemerintah, saya hadir sebagai representasi dari negara," ungkapnya.

Kondisi hubungannya dengan para pengungsi pada saat awal bertemu tidak seketika harmonis seperti yang dibayangkan. Kala itu dirinya tidak diterima karena merupakan aparat yang notabene simbol perwakilan negara.

Sedangkan pasca konflik, eks penganut Syiah telah beranggapan jika negara terutama pihak kepolisian telah gagal dalam menjalankan tugas, terutama mengamankan jiwa raga mereka mengingat, saat konflik terjadi terdapat korban berjatuhan dan harta bendanya juga banyak dibakar.

Namun, Eko menganggap persoalan itu merupakan tantangan, sehingga ia selalu mengambil hati dengan menekankan pada para pengungsi, jika kehadirannya sebagai representasi negara yang ingin menebus kesalahan.

"Saya selalu menyisipkan dalam pembicaraan saat bersosial dengan pengungsi kalau pemikiran itu salah karena saat konflik terjadi prioritas kepolisian itu keselamatan jiwa, menekan angka korban meninggal," terangnya.

Tidak hanya itu, sebelum dirinya masuk ke kehidupan para pengungsi, kondisi mereka sangat tertekan dan frontal, selalu berteriak untuk protes kepada pemerintah karena segala kebutuhan tidak terpenuhi.

Kondisi itu tidak terlepas dari beberapa pihak yang ingin mencari keuntungan dengan mengeksploitasi penderitaan para pengungsi, sehingga Eko selalu menempatkan diri sebagai telinga dan mulut dari para mantan penganut syiah, begitupun dari pemerintah.

Dengan begitu apa yang pengungsi butuhkan ke pemerintah selalu disampaikan, agar pemerintah bisa langsung melihat kondisi para pengungsi. Alhasil lambat laun terjalinlah sebuah keharmonisan.

"Ini semua tidak terlepas dari sebuah validnya informasi yang diberikan kepada pemerintah dan pengungsi, tidak datang dari beberapa pihak yang ingin mencari keuntungan dari penderitaan pengungsi," bebernya.

Setelah beberapa tahun berlangsung, rasa kebahagiaan muncul setelah para eks penganut syiah dibaiat untuk kembali ke ajaran islam Ahlusunnah Wal Jamaah, tepatnya 5 November 2020. Para pengungsi ini dipimpin langsung Tajul Muluk ke Pendopo Trunojoyo, Sampang.

Para pengikut Tajul Muluk saat membaca ikrar untuk kembali ke ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) di Pendopo Trunojoyo Sampang, Madura, Kamis (5/11/2020).
Para pengikut Tajul Muluk penganut syiah saat membaca ikrar untuk kembali ke ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) di Pendopo Trunojoyo Sampang, Madura, Kamis (5/11/2020). (TRIBUNMADURA.COM/HANGGARA PRATAMA)

Bagi Eko, hal itu sebuah sejarah yang menandakan konflik yang bertahun-tahun tanpa adanya kejelasan, akhirnya dapat diredam berkat kerja sama semua pihak, mulai dari pemerintah pusat sampai daerah, TNI/Polri, Tokoh Agama dan Masyarakat.

"Pasca dibaiat dampak positifnya bermunculan, sudah tidak ada lagi pengusiran saat pengungsi ingin silaturahmi dengan keluarganya di Sampang dan bagi warga yang meninggal mulai diterima dimakamkan di tanah kelahiran, kalau sebelumnya tidak boleh," tegasnya.

Kini, mayoritas pengungsi telah berhasil dipulangkan secara bertahap ke Kampung halamannya di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Bluuran, Kecamatan Karang Penang, Sampang.

Meski begitu, momentum ini bukanlah akhir dari tugas Eko menjalankan tugas sebagai LO. Saat ini pria yang sudah memiliki dua orang anak itu harus tetap menjaga ritme agar para warga yang telah dipulangkan tetap solid dan mengantisipasi adanya gesekan-gesekan yang dikhawatirkan datang.

"Dari 342 orang kini menyisakan 21 orang masih mengungsi dan ini bentuk pemerintah tidak memaksakan kehendak para pengungsi di Jemundo, Sidoarjo," tuturnya.

Tajul Muluk, Koordinator pengungsi warga Sampang di Rusun Puspa Agro, Sidoarjo mengaku bersyukur atas kehadiran Bripka Eko Purwanto, yang saat itu bisa menjadi sandaran para pengungsi di tengah keterpurukan.

Menurut Tajul Muluk, awalnya para pengungsi merasa hilang kepercayaan kepada siapapun. Namun, sejak Eko datang pada 2016 dan menyampaikan segala program pemerintah, mulai bantuan, e-KTP, PTSL, dan pembuatan kartu nikah, pihaknya merasa negara hadir kembali.

“Pak Eko bukan sekadar Polisi, bagi kami, ini adalah negara yang menyadarkan kami,” tutupnya.

Tajul Muluk atau Ali Murtadho (putih) saat baru tiba di Pendopo Trunojoyo Sampang Jalan Wijaya Kusuma Kecamatan/Kabupaten Sampang, Madura, Kamis (5/11/2020).
Tajul Muluk atau Ali Murtadho (putih) saat baru tiba di Pendopo Trunojoyo Sampang Jalan Wijaya Kusuma, Sampang, Madura, Kamis (5/11/2020). (TRIBUNMADURA.COM/HANGGARA PRATAMA)

Atas jerih payahnya selama lebih lima tahun itu, Bripka Eko Purwanto memperoleh penghargaan dari beberapa pihak mulai dari Pemerintah Pusat, Kepala Staf Kepresidenan RI Jenderal TNI (PURN) Moeldoko pada 2021, hingga pemerintah daerah sendiri Bupati Sampang Slamet Junaidi.

Bupati Sampang Slamet Junaidi sangat mengapresiasi loyalitas dan dedikasi luar biasa Bripka Eko Purwanto selama bertugas sebagai LO mengatasi konflik Sunni dan Syiah.

Pasalnya selama bertahun-tahun, Eko telah mengorbankan tenaga, waktu dan pikirannya untuk menjadi mata dan telinga pemerintah dalam menyelesaikan konsflik sosial berkepanjangan.

“Alhamdulilah, penyelesaian ini berkat koordinasi dari semua pihak. Semoga kedepan Kabupaten Sampang terus kondusif,” tegasnya.

Sementara, sejauh ini kondisi warga eks penganut Syiah yang telah dipulangkan ke kampung halaman telah beradaptasi dengan warga lainnya. Namun, beberapa dari mereka yang sudah tidak memiliki tempat tinggal memilih hidup bersama sanak saudaranya.

Tetapi, beberapa dari warga eks penganut Syiah lainnya memilih kembali ke tempat pengungsian karena mereka tak memiliki tempat tinggal, terutama warga dari Desa Bluuran, Kecamatan Karang Penang, Sampang .

Kembalinya warga ke Rusun Puspa Agro, hanya bersifat sementara sembari menunggu realisasi program bantuan rumah yang akan diberikan pemerintah.

Kepala Desa Bluuran, Mohammad Faruk memastikan, selama ini hubungan warga eks penganut Syiah dengan warga lainnya di Desa Bluuran sudah berdamai dan tidak ada lagi berdebatan dan perselisihan. Bahkan, sudah beraktivitas bersama seperti bertani dan lainnya.

“Mereka (eks penganut Syiah) sudah diterima oleh warga. Sekarang saling menjaga kondusifitas dengan melibatkan pemerintah desa, tokoh agama, dan masyarakat,” tandasnya.

Alhasil, bara konflik berkepanjangan antara penganut Sunni dan Syiah di Sampang, Madura akhirnya padam, berkat sejuknya 'siraman air' perdamaian dan sentuhan kemanusiaan yang diguyurkan Bripka Eko Purwanto.

Suasana saat Bupati Sampang bersama Forkopimda saat berkunjung ke pengikut Tajul Muluk yang mengungsi di Rumah Susun (Rusun) Jemundo Kabupaten Sidoarjo, Senin (04/05/2020).
Suasana ketika Bupati Sampang bersama Forkopimda berkunjung ke pengikut Tajul Muluk yang menganut syiah dan mengungsi di Rumah Susun (Rusun) Jemundo, Kabupaten Sidoarjo, Senin (4/5/2020). (TRIBUNMADURA.COM/HANGGARA PRATAMA)
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved