Hikmah Ramadan
Puasa dan Kesalehan Sosial
Ramadhan identik dengan puasa dan aktivitas amaliah ibadah lainnya, mulai dari tadarus, wirid, tarawih, megengan, beramal, bahkan menyuburkan empati
Oleh : Prof. Dr. Drs. Ali Maschan Moesa, MSi
Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim, * Guru Besar Sosiologi Agama UINSA, * Ketua Baznas
Prov. Jatim, * Pengasuh Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya, * Ketua MUI Jatim
TRIBUNMADURA.COM, SURABAYA - Ramadhan identik dengan puasa dan aktivitas amaliah ibadah lainnya, mulai dari tadarus, wirid, tarawih, megengan, beramal, bahkan menyuburkan empati kemanusiaan.
Tindakan demikian tidak terlepas dari magnet luar biasa fadhilah bulan Ramadhan.
Dalam sebuah hadits diteragkan: Man qaama ramadhaana imaanan wahtisaaban ghafira lahu maataqaddama min dzambih “Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap rhidoNYA, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Istilah Ramadhan adalah bentuk mashdar qiyasi dari ramadha-yarmudhu-ramdhan wa Ramadhan, secara teks bermakna syiddat al-harr (panas terik).
Mengapa dijuluki bulanRamadhan? Sebab bulan ini menjadi wadah untuk menggugurkan berbagai perbuatanmanusia yang melampaui batas-batas syariat dengan melakukan puasa (yarmudhu aldzunub).
Sebagaimana pula yang termaktub dalam QS. al-Baqarah, ayat 183. Penjelasan ayat al-Qur’an di atas memiliki dua tujuan sang Maha Kuasa memanggil orang-orang yang beriman (alladzina amanu).
Seperti yang dijelaskan Muhammad ‘Ali alShabuni dalam Shafwatu al-Tafasir, yaitu, Pertama, li yuharrika fihim masya’ira al-tha’ah (dalam rangka menggerakkan dan menumbuhkan ketaatan orang-orang beriman).
Kedua, yaitu dalam rangka mengokohkan spirit keimanan dalam sanubari seseorang yang beriman.
Muara utama dari perintah Allah SWT untuk berpuasa selama Ramadhan yaitu tercapainya ketakwaan seseorang, yang mana ini merupakan puncak idealitas manusia.
Penegasan hal ini tercantum dalam redaksi “la’allakum tattaqun”. Lafadz la’alla adalah doa yang berfungsi sebagai pengharapan yang mungkin terjadi.
Oleh karenanya, puasa Ramadhan jika dilakukan dengan penuh keikhlasan dan semangat keimanan akan menghantarkan seseorang pada level keberagamaan yang takwa secara continue.
Lebih jauh mengarungi kemuliaan dan keistimewaan puasa Ramadhan adalah momentum untuk umat muslim untuk menumbuhkan atau bahkan meng-upgrade kesalehan sosial dan spiritual.
Mengapa dalam hal ini kesalehan sosial terlebih dahulu? Ada alasan tersendiri mengapa aspek sosial perlu menjadi sorotan pertama, yaitu dalam kandungan alQur’an sebagai rujukan primer umat Islam jumlah ayat tentang hukum kurang lebih menurut Imam Al-Ghazali berkisar 500 ayat, begitu pula Ibn Qayyim berpendapat hanya 150 ayat saja.
Selebihnya kandungan al-Qur’an berbicara mengenai persoalan sosial, kisah-kisah masa lalu, dan petunjuk sebagai pelajaran bagi umat.
Memang perlu kita sadari bahwa, kandungan Al-Qur’an berisi dua rumah besar, yaitu konsep keberagamaan yang sifatnya mahdhah dan sosial.
Terma ini pada umumnya yang pada akhirnya dikenal dengan Hablun min Allah dan Hablun min al-Annas.
Kedua aktivitas ini tidak lain pada hakikatnya bernilai ibadah jika diniatkan kepada Sang Khalik sebagai bentuk pengabdian kepada-Nya.
Secara jelas hubungan antar sosial dalam literatur Islam terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 112.
Yaitu “dhuribat alaihim al-aldzillah aina ma tsuqifu illa bi hablin min Allah wa hablin min al nas”.
Menusia sendiri sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari aktivitas hubungan dengan manusia yang lain dengan saling berinteraksi.
Dalam perspektif sosiologi, seorang sosiolog abad ke-19 dan 20 bernama George Herbert Mead dan Erving Goffman menyatakan bahwa interaksi sosial sebagai bentuk aktivitas individu yang dapat menjadi faktor pembentuk kepribadian dari setiap orang.
Proses interaksi sosial tidak hanya satu arah semata, namun juga dapat saling timbal balik (interstimulasi).
Melihat konteks ini, aspek penting dalam mengaktualisasikan nilai-nilai keagamaan secara kontekstual dan tidak terjerumus pada kubangan supremasi, adalah dengan meningkatkan kualitas keimanan, puasa dan hubungan sosial dengan penuh akhlakul karimah.
Oleh karenanya, puasa sebagai media yang pada dasarnya bersifat mahdhah, namun juga dituntut untuk menahan diri agar tidak terbawa arus hawa nafsu, kedengkian, sifat mencelakakan orang lain, brutalitas, intoleran, bahkan merendahkan satu sama lain.
Hakikatutama dari puasa adalah menahan diri lahir-batin dari perbuatan yang dilarang syariat, dan sebagai sarana untuk membersihkan hati dari sifat sombong, riya, dan penyakit hati lainnya.
Dalam konteks hablun min al-nass ini, jika merujuk pada al-Qur’an, standarnya adalah dengan suka memberikan sebagian harta yang dicintainya kepada fuqara’ dan masakin (sedekah, beramal, berinfaq), mencakup anak yatim, musafir, dan orang peminta-minta, memerdekakan hamba sahaya, menepati bila berjanji, bersabar dalam kesempitan,
penderitaan dan peperangan (QS. al-Baqarah ayat 77).
Aspek sedekah di atas sejalan dengan Hadits Nabi Muhammad, bahwa: ayyu alshadaqati afdhalu? Qala al-shadaqatu fii Ramadhan (HR. Tirmidzi).
Jika ditarik pada konteks berkeluarga, bersosial dan bernegara, maka upaya meng-upgrade kesalehan sosial dengan cara menjaga keharmonisan rumah tangga, meminimalisir gesekan konflik, saling menerima perbedaan pendapat, tidak saling merasa superior atau benar, menjaga keutuhan negara dari keterpecahbelahan dengan menjaga Ukhuwwah Islamiyyah, Ukhuwwah Wathaniyyah dan Ukhuwwah Insaniyyah.
Maka untuk menciptakan hubungan sosial yang didasari dengan sense of social, maka perlu menciptakan lingkup sosial yang berkualitas dan tidak keluar dari rel nilai-nilai luhur agama.
Jika dikaji pada aspek keberagamaan pada level tasawwuf, maka ibadah sosial yang berkualitas, ideal, dan selaras dengan ajaran Nabi adalah dengan menjaga lisan, menata hati, berhubungan sosial diniatkan untuk ibadah dan selalu menerima apa yang telah ditetapkan Allah SWT semasa hidup di dunia.
Hingga pada akhirnya, aktivitas ini dikenal dengan tasawuf sosial, yaitu tetap mengamalkan amaliah-amaliah ibadah di tengah kehidupan dan tidak meninggalkan aspek hubungan sosial.
Dalam konteks Indonesia, salah satu Ulama NU yang mempopulerkan terma ini adalah almaghfurlah KH. Sahal Mahfudz.
Aspek kedua yaitu, puasa sebagai momentum untuk meningkatkan ketakwaan aspek spiritual.
Aspek ini tidak kalah penting untuk diimplementasikan dalam setiap detak detik waktu supaya terus tersambung kepada Allah SWT.
Selain dilipatgandakan pahala, diampunidosa-dosa, dan mustajab ketika berdoa, output dari melakukan aktivitas puasa Ramadhan diharapkan mampu meningkatkan kesalehan spiritual seorang muslim. Sebagaimana dalam salah satu ayat QS. Al-Dzariyat ayat 16-18: “orang yang bertakwa selalu berbuat kebaikan, sedikit sekali istirahatnya di malam hari lantaran sibuk mengingat Allah, dan pada waktu sahur memperbanyak istighfar”.
Dalam perspektif fadhilah bulan Ramadhan, menghidupkan siang dan malam dengan mendekatkan diri kepada-Nya memiliki keutamaan sendiri.
Betapa banyak orang yang senantiasa melewatkan momentum penuh berkah Ramadhan dan tidak memanfaatkannya untuk dzikrullah, tadarrus, atau bahkan beristighfar di waktu malam.
Mengasah kemampuan atau ketajaman spiritual adalah bekal perjalanan kehidupan menuju kehadirat Tuhan.
Maka terdapat Ulama seperti Imam Ghazali dalam bahasan Tartib al-Aurad wa Tafshil Ihya’ al-Lail yang juga dituangkan dalam karya fenomenalnya Ihya ‘Ulumuddin, bahwa beliau menuliskan tips supaya menghidupkan malam ramadhan terutama di sepertiga malam.
Setidaknya terdapat dua aspek penting, yaitu persiapan jasmani dan rohani.
Persiapan jasmani meliputi: 1). Tidak banyak makan, namun memperbanyak minum air putih;, 2) Tidak terlalu kelehanan di siang hari melakukan aktivitas yang berat; 3). Berusaha membiasakan diri tidur siang (Qailullah); 4). Tidak berbuat dosa di siang hari.
Lalu persiapan rohani meliputi: 1). Senantiasa menjaga qolbu supaya terhindari dari penyakit hati dan berlebihan dalam kegelisahan materi dunia; 2). Membiasakan hati untuk mengingat hari akhir; 3). Yakin terhadap kemuliaan dan keutamaan shalat malam; 4). Menancapkan rasa keimanan hakiki kepada Allah SWT, sebab malam hari adalah waktu yang utama untuk bermunajat kepada-Nya.
Dalam perspektif ini oleh Imam Ghazali menegaskan bahwa pada dasarnya juga dilakukan oleh Nabi.
Sebagaimana dalam suatu Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah bahwa: “Rasulullah Saw meningkatkan kesungguhan (ibadahnya) di sepuluh terakhir (bulan Ramadhan), hal yang tidak beliau lakukan pada (hari) lainnya” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Khuzaimah dan Ahmad).
Jika ditinjau secara medis ternyata bangun malam memiliki dampak positif bagi kesehatan.
Seperti yang pernah diungkapkan seorang ilmuwan dari Virginia Tech bernama Roger Ekrich, dalam penelitiannya selama 16 tahun.
Ia mengungkap bahwa dalam banyak historis bahwa manusia di zaman lampau terbiasa tidur selama dua waktu dalam satu malam.
Dalam bukunya yang bertajuk “At Day’s Close” Night in Times Past” dimana didalamnya berisi lebih dari 500 referensi pola tidur dari catatan pengadilan, buku harian, buku sastra dan catatan kesehatan.
Ia menggambarkan tidur pertama dimulai sekitar dua jam setelah senja, dan ini bisa dilakukan sekitar pukul 8/9 malam, kemudian terbangun selama satu atau dua jam, lalu tidur lagi untuk kedua kalinya.
Ekrich mengatakan bahwa selama waktu bangun di antara dua tidur tersebut, ternyata kondisi tubuh sangat aktif.
Seseorang acap kali terbangun, merokok atau ke kamar mandi, atau mengunjungi tetangga. Akan tetapi, kebanyakan orang tetap di tempat tidur, menulis, membaca dan seringkaliberdoa.
Ia juga menambahkan bahwa sudah banyak buku yang mengkaji tentang doa yang tak terhitung jumlahnya dari kisaran waktu abad-15 berisi tentang doa khusus di antara dua jam tidur tersebut.
Tentu ini menandakan bahwa, menghidupkan malam Ramadhan dengan mengingat Tuhan, Berdoa, berdzikir, dan melakukan aktivitas positif lainnya, selain bernilai pahala, jugabermanfaat untuk menyehatkan rohani dan jasmani manusia.
Tentu ini lebih cepat untuk menghantarkan kita untuk mengasah kesalehan spiritual secara maksimal.
Kesalehan spiritual dan kesalehan sosial merupakan dua komponen penting yang harus dimiliki oleh seorang muslim.
Keduanya saling berhubungan satu sama lain. Menjaga hubungan dengan Tuhan (hablun min Allah) berfungsi untuk meningkatkan hubungan kedekatan dengan-Nya, dan menjalin hubungan baik dengan manusia (hablun min al-Nass),
adalah bentuk penghormatan kepada Tuhan dengan tidak mencelakakan ciptaan-Nya.
Semoga kita mampu menghidupkan dan meningkatkan segala aktivitas ibadah di bulan
Ramadhan, Aamin.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.