Berita Sumenep

Mesin Rp 2,8 M Dibeli, Tapi Pendapatan dari Sampah ke PT SBI Masih Tidak Jelas

Program pengolahan sampah milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumenep kembali menjadi sorotan.

Penulis: Ali Hafidz Syahbana | Editor: Januar
TribunMadura.com/ Ali Hafidz Syahbana
Wakil Bupati Sumenep Imam Hasyim saat melepas pengiriman RDF pertama di depan Pendopo Agung Keraton Sumenep, pada Kamis (6/11/2025). 

Ringkasan Berita:
  • Pendapatan dari produksi RDF belum jelas karena PT Solusi Bangun Indonesia masih melakukan uji laboratorium untuk menentukan harga jual, meski mesin senilai Rp 2,8 miliar sudah beroperasi dan mulai mengirim bahan.
  • apasitas produksi RDF masih rendah (1–2 ton/hari) akibat minimnya SDM dan alat; DLH berencana menambah tenaga, peralatan, dan menyesuaikan jadwal operasional tahun depan.
  • DPRD Sumenep menyoroti kinerja DLH, menuntut transparansi serta bukti bahwa pengadaan mesin mahal 

 

Laporan Wartawan TribunMadura.com, Ali Hafidz Syahbana

TRIBUNMADURA.COM, SUMENEP - Program pengolahan sampah milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumenep kembali menjadi sorotan.

Meski mesin pengolah sampah senilai Rp 2,8 miliar sudah beroperasi dan hasil olahannya mulai dikirim ke PT Solusi Bangun Indonesia (SBI), namun pendapatan yang akan masuk ke kas daerah hingga kini masih gelap.

Kepala UPT Pengelolaan Sampah DLH Sumenep, Achmad Junaidi menyampaikan bahwa pihaknya belum mengetahui berapa harga jual pasti refuse derived fuel (RDF) yang diproduksi. Sebab, PT SBI masih melakukan uji laboratorium terhadap bahan baku yang dikirim dari Sumenep.

"Dalam PKS sudah diatur, uji lab hingga penentuan harga dan pembayaran itu maksimal tiga bulan," kata Junaidi, Minggu (23/11/2025).

Baca juga: Langkah Pemkab Bangkalan Atasi Sampah, Sulap Terminal Mangkrak Jadi TPST

Saat ini kapasitas produksi RDF di UPT masih sangat terbatas, hanya satu hingga dua ton per hari. Junaidi mengakui hal itu disebabkan minimnya sumber daya manusia serta keterbatasan alat.

"Tahun depan ada rencana penambahan SDM, penambahan alat, dan penyesuaian jadwal operasional supaya produksi meningkat," katanya.

Junaidi menjelaskan, ada dua jenis olahan sampah yang dihasilkan, yakni organik dan nonorganik. Untuk pengangkutan, DLH tidak turun langsung. Transportasi disediakan pihak ketiga, sementara DLH hanya memastikan ketersediaan bahan olahan.

Sorotan DPRD Sumenep

 

Terpisah, Ketua Komisi III DPRD Sumenep M Muhri menyoroti keras kinerja DLH dalam program ini.

Pengadaan mesin senilai Rp 2,8 miliar itu katanya, harus dibuktikan dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang nyata.

"Anggarannya besar, jadi harus jelas pemasukan ke daerahnya. DLH harus membuktikan komitmen mereka soal tata kelola sampah yang bervisi PAD," tegas Muhri.

Politisi DPC PKB Sumenep ini mengingatkan, DLH sebelumnya menyampaikan target peningkatan PAD melalui penjualan hasil olahan sampah kepada pihak ketiga. Namun hingga kini, kepastian nilai pendapatan itu belum ada perkembangan.

"Masyarakat kini menunggu realisasi janji pemerintah daerah, terutama terkait transparansi hasil kerja sama dan sejauh mana mesin mahal tersebut benar-benar memberi efek pada pendapatan daerah," kata Muhri.

 
 
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunMadura.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved