Berita Madura

Pengamat Hukum Sebut Penangguhan Penahanan Pasutri Korupsi PT. Sumekar 2019 'Tidak Tepat Penerapan'

Dua tersangka ini sebelumnya diperiksa oleh penyidik Kejari Sumenep selama 7 jam sejak pukul 15.00–22.00 WIB.

Penulis: Ali Hafidz Syahbana | Editor: Ficca Ayu
Istimewa/TribunMadura.com
Dua orang tersangka HM (66) dan SK (59) asal Kota/Provinsi Gorontalo sebagai tersangka korupsi pengadaan kapal cepat PT. Sumekar 2019. 

Laporan Wartawan TribunMadura.com, Ali Hafidz Syahbana

TRIBUNMADURA.COM, SUMENEP - Salah satu pengamat hukum di Sumenep, Madura menyebut terkait penagguhan pasangan suami istri (pasutri) kasus korupsi pengadaan kapal cepat PT. Sumekar 2019 dinilainya 'tidak tepat dalam penerapannya'.

Pasutri yang sudah resmi ditahan dan kini ditangguhkan Kejari Sumenep yakni, HM (66) dan SK (59) asal Kota/Provinsi Gorontalo yang keduanya merupakan direktur utama dan komisaris PT. Fajar Indah Lines.

"Penangguhan penahanan pasutri kasus korupsi pengadaan kapal cepat PT. Sumekar 2019 yang mengacu pada pasal 31 Ayat 1 KUHAP ini jelas tidak tepat penerapannya," tutur pengamat hukum di Madura ini yang tak mau disebutkan namanya pada Senin (24/7/2023).

Dua tersangka ini sebelumnya diperiksa oleh penyidik Kejari Sumenep selama 7 jam sejak pukul 15.00–22.00 WIB.

Baca juga: Kejari Sumenep Tangguhkan Dua Tersangka Penahanan Pasutri Kasus Korupsi Kapal PT Sumekar, Sakit

Setelah itu keduanya dimasukkan ke mobil tahanan kejaksaan dan dibawa ke Rutan Kelas II-B Sumenep pada Rabu (14/6/2023) malam.

Kemudian, pada Sabtu (22/7/2023) Kasi Intel Kejari Sumenep Moch Indra Subrata mengatakan, bahwa dua tersangka HM dan SK dilakukan penangguhan penahanannya mendasarkan pada pasal 31 Ayat 1 KUHAP.

Dari penangguhan penahanan pasutri kasus korupsi kapal cepat PT. Sumekar 2019 tersebut, pengamat hukum yang biasa beracara di Madura ini menilainya janggal.

Alasannya, memang pada dasarnya pada pasal 31 Ayat 1 KUHAP tersebut memang benar. Namun dasar penahanan itu didasarkan sebagaimana pasal 20, pasal 21 dan pasal 22 KUHAP dan kedua orang tersangka itu berdomisili diluar pulau jawa yaitu Gorontalo.

Maka lanjutnya, apakah pengembalian kerugian negara itu sudah sah atau tidak menurut ahli penghitungan kerugian negara atau BPK atau berdasarkan putusan pengadilan.

"Kalau belum berarti itu bukan kerugian negara, hanya uang titipan yang diduga hasil tindak pidana. Biarkanlah penyidik itu semua yang lebih paham dalam case ini, intinya saya tidak membahas case kapal ghaib ini. Karena penyidiklah yang lebih paham," tuturnya sambil menyeruput secangkir kopi di salah satu warung kopi di Sumenep.

Laki-laki yang punya kulit sawo matang ini lebih dalam menturkan, bahwa banyak perkara tipikor yang terjadi di Indonesia pada saat tahap penyidikan dan mengembalikan hasil kejahatan yang nilainya puluhan Milliar.

Baca juga: Mantan Kasat Reskrim Polres Sumenep Klarifikasi Soal Dugaan Pemerasan Tersangka Korupsi Gedung

Dan jika sakit didalam lapas tuturnya, pasti ada tim medis kesehatan yang siaga 24 jam bagi penghuni hotel prodeo itu. 

"Jika butuh perawatan khusus, itu bisa dibantarkan seperti tersangka Safi'i (Muhammad Syafi’i (43) mantan direktur utama PT. Sumekar 2019) yang telah meninggal terdahulu," pungkasnya.

Selanjutnya, pada saat penahanan kedua tersangka asal Provinsi Gorontalo itu sebelumnya pasti sudah diperiksa oleh tim dokter sebelum masuk Rutan Kelas IIB Sumenep dan sudah dinyatakan sehat.

Hal itu sebagaimana salah satu persyaratan, yakni jika ada warga binaan baru yang akan dititipkan didalam prodeo Sumenep.

"Biasanya ada dokter yang diminta bantuan atau apalah itu untuk melakukan cek kesehatan dari masing-masing tersangka, itu sebelum ditahan dan akan memberitahukan apakah kondisi sehat atau tidak," katanya.

"Lho, kenapa baru beberapa hari masuk (tersangka pasutri) kemudian dilepas dengan alasan kesehatan, masa iya keduanya sakit? apa iya sakitnya sama, bukankah dipemberitaan sebelumnya kedua tersangka itu adalah pemilik perusahaan dan sama-sama mengelola perusahaannya itu, kan ini janggal," tandasnya.

Ditanya bagaimana soal pengembalian uang negara itu, pihaknya sampaikan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana (pasal 4 UU Tipikor).

Tetapi lanjutnya, apakah bisa melepas tersangka yang sudah ditahan dengan alasan telah menitipkan uang dan jaminan dari keluarganya dan penasehat hukumnya.

"Tapi ini bukan masalah uang, tipikor itu extraordinary crime, dengan  ancaman diatas 10 tahun. Nah, apakah bisa ditangguhkan dengan alasan jaminan uang titipan dan alasan kesehatan. Padahal jelas-jelas dia sehat diawal penahanan," tanya dengan nada heran.

Pengamat hukum yang tampak energik ini menambahkan, jika di Negara kita ini banyak undang-undang dan aturan-aturan hukum yang berlaku, salah satunya adalah UUD 1945 sebagaimana pada pasal  27 ayat 1 yang menjelaskan bahwa semua warga sama kedudukannya dimata hukum. Hal itu biasa kita sebut equality before the law.

Baca juga: Tiga Tersangka Korupsi Gedung Dinkes 2014 Ditahan Kejari Sumenep, Rugikan Uang Negara Rp 201 Juta

Jika melihat case ini katanya, apakah sudah sesuai semuanya, biar masyarakat saja yang menilainya kata pria murah senyum ini.

"Jika kembali lagi kecerita tersangka Safii,  itu sebelumnya pernah dibantarkan dirumah sakit sekitar 1 bulan sebelum meninggal dan dibantarkan lagi untuk yang kedua kalinya karena sakit hingga meninggal dunia didalam penahanan jaksa penyidik. Apakah itu dibenarkan, biarkan rumput yang bergoyang dan ilalang yang ditiup angin yang menjawab," tegasnya.

TribunMadura.com langsung mengkonfirmasi Kasi Intel Kejari Sumenep Moch Indra Subrata dan juga Kasi Pidsus Kejari Sumenep Dony Suryahadi Kusuma di kantor Kejari Sumenep.

Dony Suryahadi Kusuma mengungkapkan, bahwa berdasarkan Undang - Undang Pasal 31 Ayat 1 disampaikan itu menjadi kewenangan penyidik, kewenangan penuntut umum dan kewenangan hakim berdasarkan alasan - alasannya.

Maka, dengan berdasar Undang-Undang tersebut melakukan pembentukan tim, dan permohonan tim melakukan penangguhan berdasarkan surat keterangan sakit, yakni secara otomatis dari keterangan dokter spesialis.

"Kalau kemaren pada saat sebelum dilakukan penahanan, itu secara umum. Tapi ini dokter spesialis secara khusus," tutur Dony Suryahadi Kusuma.

Kalau pihaknya mengacu pada undang - undang 71, pasal 31 ayat 1 KUHAP.

"Nah sekarang saya nanya, cacat hukumnya dimana. Kan inu kewenangannya penyidik, hakim dan penuntut umum. Terus nyambung ke jaminan, yang melakukan penjaminan itu bukan penasehat huku (PH), tapi keluarganya. Dan tugasnya PH itu mendampingi pihak keluarga dalam melakukan permohonan," paparnya.

Jadi berdasarkan jaminan dan permohonan penangguhan tersebut kata Dony Suryahadi Kusuma, tim penyidik telah melakukan telaah dalam penangguhan penahanan tersangka korupsi PT. Sumekar 2019 tersebut.

"Kemudian yang terkait Muhammad Syafi'i, itu pada saat mengajukan penangguhan tidak disertai surat. Itu hanya permohonan gitu aja. Tidak ada surat keterangan dokter spesialis," paparnya.

Dony Suryahadi Kusuma mengatakan, bahwa yang berhak menentukan kerugian uang negara itu siapa, UU BPK.

"Disini juga yang melakukan audit terhadap laporan keuangan PT. Sumekar kan kantor angkuntan publik, disitu jadi dasar kita terhadap angkuntan publik kita jadikan sebagai ahli," katanya.

"Kantor angkuntan publik, maka dengan keahliannya dia bisa menghitung laporan keuangan. Disitu menjadi dasar dugaan kerugian keuangan negara. Nanti yang memutuskan kan hakim," tuturnya.

Jadi, kalau mengacu pada pasal 184 KUHAP. apa sajasih alat bukti itu, pertama keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa itu sendiri.

"Kita mengacu sesuai Undang - Undang, Ahli tak ambil angkuntan publik. Karena keahliannya dia bisa melakukan perhitungan laporan keuangan PT. Sumekar, dimana dalam laporan itu ditemukan transaksi yang tidak wajar," tegas Dony Suryahadi.

Baca Berita Madura lainnya

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunMadura.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved