Ramadan 2023

Hikmah Ramadan: Puasa Ramadan dan Rendahnya Keadaban Publik Kita

Apakah puasa Ramadan yang dijalani bertahun-tahun ini telah mengubah muslim menjadi lebih dan keadaban publik jadi lebih baik lagi?

Editor: Ficca Ayu
Istimewa/TribunMadura.com
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, S.Ag., M.Fil. I, Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember. 

Oleh: Prof. Dr. M. Noor Harisudin, S.Ag., M.Fil. I

Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember

Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur

Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN se-Indonesia

TRIBUNMADURA.COM - Ramadan 2023/1444 H telah hadir di tengah-tengah kita. Umat Islam kembali bersuka cita dengan datangnya bulan yang ditunggu-tunggu sebagai madrasah ‘reparasi diri’. Namun pertanyaannya, apakah puasa Ramadan yang dijalani bertahun-tahun ini telah mengubah muslim menjadi lebih? Lebih spesifik lagi pertanyaannya, apakah puasa yang dijalani muslim telah mengubah keadaban publik muslim menjadi lebih baik lagi?

Keadaban Publik atau yang juga disebut public civility adalah sikap atau perilaku yang menghargai, menghormati dan peduli pada orang lain, taat pada aturan dan norma sosial serta menerapkannya dalam hubungan sosial dengan orang lain dalam kehidupan publik. Umumnya, warga di negara-negara maju memiliki public civility yang tinggi, sebaliknya warga negara yang belum maju atau terbelakang masih sangat rendah public civilitynya. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa negara maju –sebagaimana saya sebut tadi--tentu mengalami proses panjang dan tidak tiba-tiba membangun public civility-nya.

Bagaimana dengan keadaban publik di negeri ini? Tentu, keadaannya masih jauh dari apa yang diharapkan. Buktinya, kita masih juga menjumpai orang dengan mudah membuang sampah sembarangan. Tidak peduli dengan kebersihan lingkungan, mereka asyik dengan buang sampah bahkan di sungai-sungai yang ada di sekitar kita. Hadits an-nadlaftu minal iman (kebersihan adalah sebagian dari iman) masih sebatas  slogan yang dipertontonkan di papan nama pinggir jalan raya. Hadits ini juga belum menjadi kesadaran yang built in dalam pribadi orang-orang (muslim) Indonesia. Terdapat jurang yang mengangga antara ajaran normatif dengan kenyataan di lapangan.

Baca juga: Hikmah Ramadan: Ramadhan, Momentum Hindari Nafsu Flexing

Ketiadaan public civility kita juga ditunjukkan dengan rendahnya kedisiplinan kita. Dalam kehidupan sosial, kedisiplinan belum menjadi bagian dari kita. Jam karet masih saja menjadi musuh bersama kita semua. Ini belum soal kedisiplinan yang berkaitan dengan kerja-kerja baik di sektor formal maupun informal. Padahal, kedisiplinan merupakan elemen keadaban publik yang menentukan kemajuan negeri ini di masa yang akan datang.   

Masih tentang kedisiplinan, kita masih sering menjumpai orang yang mengendarai motor menerobos lampu merah di jalanan tanpa merasa berdosa dengan apa yang dilakukannya. Mereka memandang tak ada korelasi agama dengan ketaatan pada aturan lalu lintas di negeri ini. Tak heran, jika ‘orang soleh’ pun dapat dengan mudah melanggar aturan lalu lintas ini. Padahal, melanggar aturan lalu lintas ini bisa menyebabkan kecelakaan yang membahayakan banyak orang.

Dus, antrean belum menjadi kebiasaan kita. Kita masih sering menerobos antrean panjang baik di bandara, stasiun, terminal dan fasilitas umum lainnya. Sebagian dari kita bahkan merasa bangga jika dapat melampaui antrean ini karena dinilai punya privellage (keistimewaan) tertentu dibanding warga negara yang lain. Kita masih belum dapat mengendalikan Emotional Quotient (kesabaran) kita menghadapi apa yang seharusnya kita lakukan di tengah-tengah kehidupan publik. Yaitu berlama-lama antre yang seharusnya menjadi kewajiban kita.       

Baca juga: Hikmah Ramadan : Interelaasi Ramadlan dan Sadar Halal

Di ranah publik, kita juga masih sering mendengar caci maki orang di jalanan. Kecelakaan di jalan sering dijumpai berakhir dengan saling menyalahkan, caci maki dan bahkan saling memukul antara satu dengan lainnya. Kita semestinya menghadirkan harmoni di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Jika pun akhirnya harus menegur seseorang, demikian ini dapat dilakukan di ruang privat yang tidak diketahui banyak orang.  

Lalu, apa korelasinya dengan puasa? Saya menjadi ingat dengan pernyataan sufi besar dalam kitab Hikam (tt). “Man wajada tsamrata amalihi ‘aajilan fahuwa daliilun ‘ala qabuulihi aajilan”. Barang siapa yang menemukan buah amalnya di dunia, maka itu menjadi bukti amalnya diterima di akhirat. Artinya bahwa amaliah di bulan Ramadan yang tampak lebih baik menjadi penanda amal ibadah puasanya diterima Allah Swt. Ramadan dengan keadaban publik muslim; berintegritas, disiplin, mau mengantre, dan sebagainya menjadi tanda diterimanya puasa oleh Allah Swt.

Pada level mikro, puasa Ramadan mengajari kita untuk berdisiplin. Sahur dan buka puasa di waktunya adalah teladan kedisiplinan. Sementara, larangan marah dan emosi di waktu siang hari puasa adalah latihan Emotional Quotient dalam keadaan apapun. Demikian juga, kebersihan jasmani dan kebersihan rohani hal yang tidak terpisahkan dalam kebersihan diri seorang muslim, sebagaimana disebut dalam al-Qur’an: qad aflaha man zakkaaha. Wa qad khaabaman dassaaha. (QS. As-Syam: 9-10). Di sini, puasa Ramadan sangat compitable dengan public civility.

Baca juga: Hikmah Ramadan : Puasa dan Pembentukan Kepribadian

Sementara, pada level makro, agama Islam juga sangat sesuai keadaban publik.  Semua ajaran Islam mengafirmasi keadaban publik. Misalnya hadits la dlarara wala dlirara  adalah keadaban publik terkait dengan lalu lintas untuk tidak membuat kerusakan untuk dirinya dan orang lain. An-nadlafatu minal iman misalnya adalah hadits untuk memprioritaskan kebersihan dalam segala hal.  Demikian juga man shabara dlafara tentang sabar dengan berbagai kondisi, termasuk mengantre.        

Halaman
12
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved