Ramadan 2023
Hikmah Ramadan: Bulan Ramadan, Berdamai dengan Perbedaan
Perbedaan merupakan keniscayaan. Kepada bulan suci Ramadan, kita belajar untuk senantiasa berdamai dengan perbedaan.
Oleh: Fauzi Palestin
Sekretaris MUI Jatim dan Pengisi Hujjah Aswaja TV9
TRIBUNMADURA.COM - Kalau diibaratkan seperti tamu, bulan Ramadan merupakan tamu istimewa dengan membawa kebaikan, keberkahan, kebahagiaan, dan pembelajaran. Tak berlebihan jika dua bulan sebelum Ramadan tiba Nabi ajarkan untaian harapan: "Allahumma barik lana fii rajaba wa sya'bana wa ballighna Ramadan (Ya Allah berkahilah kami dibulan Rajab dan Sya'ban serta sampaikanlah kami untuk mengarungi kehidupan di bulan suci Ramadan). Untaian harapan itu begitu populer di kalangan masyarakat mulai dari perkotaan hingga pedesaan.
Dalam tataran syariat, posisi puasa di bulan suci Ramadan sebagai bagian dari rukun Islam sudah menjadi keyakinan bersama yang tak perlu dipertanyakan. Namun, ada banyak instrumen ritual dan pemahaman keagamaan yang berkenaan dengan Ramadan selalu diwarnai perbedaan-perbedaan. Sebutlah antara NU dan Muhammadiyah yang berbeda konsep delam mengawali dan mengakhiri bulan suci Ramadan, jumlah rakaat Tarawih, penggunaan bilal tarawih, dan perbedaan-perbedaan lain yang bersifat Furuiyyah.
Kalo kita melihat praktek di lapangan lebih detil, kita akan menjumpai adanya komparasi perbedaan, itu menarik untuk kita potret sebagai pembelajaran.
Baca juga: Hikmah Ramadan : Bersedekah di Bulan Ramadhan
Di masjid Al akbar misalnya, kita akan melihat sebuah praktik salat tarawih yang menampung dua kebiasaan masyarakat. Para jamaah yang kebiasaan shalat tarawihnya 8 rokaat geser kebelakang setelah menyelesaikan 8 rokaat. Sementara jamaah yang terbiasa dengan 20 rakaat terus melanjutkan hingga dua puluh rakaat. Plus salat witir.
Di tempat yang lain, ada praktik perpaduan yang tak kalah menarik. Seperti pelaksanaan salat tarawih 8 rakaat dan witir 3 rokaat dengan satu kali salam. Biasanya, praktek trawih seperti ini model senyap. Tanpa bilal. Namun, ada banyak masjid yang jumlah rakaat tarawihnya 8 rokaat dan disertai dengan bilal. Bacaan suratnya memakai at takatsur sebagaimana jamaah tarawih 20 rokaat.
Sepintas lucu dan menggemaskan. Bagi orang tertentu, hal seperti itu merupakan inkonsistensi dalam sebuah praktik keagamaan.
Diakui atau tidak, praktik di atas seakan menjadi rool model tersendiri bagi masyarakat metropolitan yang heterogen. Sejauh ini, berdasarkan tinjauan penulis, belum ditemui kemudharatan subtantansial di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga: Hikmah Ramadan: Keindahan Sosial Ramadan
Dari sisi tinjauan hukum Islam, praktek di atas bukan termasuk mencampur aduk ibadah (talfiq) yang menurut jumhur ulama tidak diperbolehkan. Walaupun ada sebagian ulama yang memperbolehkan seperti kamal ibnu hamam, ad dasuki, ibnu amir dsb.
Jika menoleh terhadap madzhab-madzhab terdahulu, satu dengan yang lain terdapat berbagai perbedaan pandangan. Hal itu disebabkan (antara) karena mereka dihadapkan pada situasi yang berbeda. Padahal, sumbernya sama, yaitu Alquran dan Al-hadits.
Dari faktor kebutuhan psikologis manusia, perbedaan bermadzhab itu seakan menjadi solusi dalam menjalankan kreasi praktik keagaamaan, Tanpa menyalahi aturan baku (mujma'alaih) yang sudah menjadi ketetapan. Dari sini, Islam selalu hadir seiring dengan perkembangan zaman (shalihun likulli zaman wal makan).
Baca juga: Hikmah Ramadan: Puasa Ramadan dan Rendahnya Keadaban Publik Kita
Perbedaan furuiyyah itu jika dikelola dengan baik akan menjadi khazanah, pertumbuhan intelektual, dan tentunya harmoni sosial. Satu dengan yang lain tidak lagi berebutan siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah. Semua bermuara pada maqashid syariah yang sama yakni beribadah kepada Allah (hifdzud din).
Dari penghambaan secara vertikal, lalu naik menjadi penghambaan khorizontal. Artinya, potret ibadah yang bersifat kolaboratif di metropolitan di atas, dapat mengedukasi umat Islam tentang pentingnya menjaga keutuhan bersama dalam konteks bergama, berbangsa, dan bernegara. Berbeda, tapi tetap bersama untuk kemajuan bersama. Dengan parameter beragama yang jelas, Tanpa ada saling menyulutkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.
Selain keberkahan, tamu Ramadan ini juga membawa perbedaan-perbedaan. Seyogyanya, bukan menjadi sebab terjadinya kerenggangan karena beda praktek keagamaan yang bersifat furuiyyah. Perbedaan merupakan keniscayaan. Kepada bulan suci Ramadan, kita belajar untuk senantiasa berdamai dengan perbedaan.
Baca artikel terkait Ramadan 2023 lainnya
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunMadura.com
bulan Ramadan
Tarawih
Furuiyyah
Nahdlatul Ulama
Muhammadiyah
TribunMadura.com
Fauzi Palestin
Tribun Madura
Sekretaris MUI Jatim
Pengisi Hujjah Aswaja TV9
madura.tribunnews.com
Orang yang Berhak Mendapatkan Zakat Fitrah di Bulan Ramadan, ada 8 Golongan yang Menerima |
![]() |
---|
Hikmah Ramadan: Spirit Memulai Usaha Halal |
![]() |
---|
Dirut BANI Group dan Brigjend TNI Terry Tresna Purnama Silaturrahmi Sekaligus Santuni Anak Yatim |
![]() |
---|
Hikmah Ramadan: Taubat yang Diterima |
![]() |
---|
Ciri Orang yang Mendapatkan Malam Lailatul Qadar, Kebiasaannya Berubah? Simak Penjelasan Buya Yahya |
![]() |
---|